Gambar : Kampus MIT ,USA |
KOMPAS.com — Harvard dan Massachusetts Institute of
Technology (MIT) memang menjadi impian banyak anak pintar di seluruh dunia, tak
terkecuali di Indonesia. Namun, siapa bilang perguruan tinggi tersohor di dunia
itu terlalu tinggi untuk dicapai putra putri Indonesia?
Tak ada yang mustahil, tetapi hanya mereka yang mau bekerja keras saja yang
tentu memiliki kesempatan mengecap pendidikan di sana, salah satunya Kevin
Soedyatmiko. Melalui Indonesia Mengglobal, Kevin berbagi pengalaman 5 bulan pertamanya di MIT.
Kevin mulai berkuliah di MIT sejak tahun 2011. Dia mengenyam studi S-1 di
jurusan Management Science and Economics. Saat ini, Kevin juga menjadi asisten
peneliti di MIT.
Tulisan ini memang di-posting pada 20 Maret 2012 lalu, tetapi tetap
memberikan wawasan yang luas tentang dinamika pendidikan di MIT. Siapa yang
berminat ke MIT? Silakan petik pelajaran dari tulisan ini.
Anda juga bisa seperti Kevin!
Belajar di MIT
Hi guys!
Let me welcome you to IndonesiaMengglobal.com. Sebuah website yang dibuat
khusus buat kamu yang tertarik belajar ke luar negeri, khususnya di Amerika.
And thanks to Indonesia Mengglobal admin yang sudah memberi kesempatan buat
saya menulis di sini.
Well, enough for the introduction. Pada post kali ini, saya akan berbagi
pengalaman 5 bulan pertama saya di MIT. 5 bulan? Yup, di sini satu semester
kuliah itu sekitar 4 bulan di kalender. Jadi dalam setaon hanya ada 2 x 4 bulan
kuliah = 8 bulan. Let me start…
Academics in MIT
People work really hard here. Beberapa teman mengaku hanya menyempatkan diri
untuk tidur kurang dari 5 jam per hari. Everyone (or at least most of the
students) strive gila – gilaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Nah ini
sebenernya hal yang bagus, tapi di satu sisi yang lain, mahasiswa jadi semacam
kiasu, atau egois, atau pelit ilmu satu sama lain.
So, solusinya? MIT sangat cerdik dalam memberikan solusi. And it is the PROBLEM
SET (atau dengan kata lain PR). Really? Why? Ya, problem set menjadi
satu–satunya cara agar siswa mau berkolaborasi. Problem Set di sini relatively
super hard. Biasanya di minggu ke-1 dan ke-2, problem set dapat diselesaikan
dalam waktu kurang dari 2 jam. Tapi TIDAK untuk minggu – minggu berikutnya.
Terus, kalo problem set itu super hard, gimana selesaiinnya? Di sini muncul
yang namanya kolaborasi antar mahasiswa dan diskusi antara mahasiswa dengan TA
(Teaching Assistant atau semacam asdos). You can know lots of new people with
this strategy. Biasanya, saya akan merasa puas bila telah menyelesaikannya
problem set dengan banyak diskusi. Dan secara ‘magic’, hal itu membuat saya
SANGAT mengerti topik pembelajaran yang dibahas di kelas. Dan yang satu ini
juga penting, di sini dosennya murah nilai. Mendapatkan nilai A di dalam sebuah
kelas, (menurut saya) lebih mudah daripada mendapatkan nilai A di NTU atau NUS.
Sekitar 25 – 35 % dari satu kelas akan mendapatkan A. Dan ini juga semakin
memacu para mahasiswa mau untuk share “ilmu” satu sama lain, atau dengan kata
lain, berkolaborasi.
UROP (Undergraduate Research Opportunity Program)
Research selama undergraduate adalah salah satu hal yang saat ini mulai banyak
digencarkan. Terutama buat mereka yang ingin melanjutkan ke PhD program, hal
ini merupakan salah satu dari hal terpenting.
Kenapa penting?
Pertama, research dan class material sangat–sangat berbeda. Di dalam research,
terkadang kita tidak tahu apa yang kita tuju. Terkadang, hal yang kita dapat
tidak sesuai dengan keinginan kita. Dan, buat yang ingin melanjutkan ke PhD,
research experience menjadi hal yang sangat penting. Biasanya, (kata orang)
saat apply ke PhD program, akan ditanya tentang pengalaman research yang pernah
dilakukan.
Kedua, get to know the faculty and other students. Professor di sini sibuk
banget, biasanya kalo mau interaksi dengan mereka, salah satu caranya adalah
dengan bekerja di lab mereka. Saat kita melakukan riset dengan mereka, kita
bisa mengenal mereka dengan lebih baik. Again, ini penting banget, buat yang
mau lanjut ke S3, karena professor ini lah yang akan menulis surat rekomendasi.
So, UROP adalah sebuah ‘brand’ yang dipakai MIT untuk kegiatan undergrad
research ini. 85% mahasiswa sini pernah mengambil program ini selama 4 tahun
kuliah. Kita bisa dibayar ataupun mendapat kredit bila bergabung dengan program
ini.
Dosen di MIT
Gimana sih dosen MIT ngajar di kelas? Well, kamu bisa lihat di ocw.mit.edu,
sebuah web yang sebenernya udah cukup terkenal. Yah, in general, ada kelas yang
dosennya bagus (mampu mengajar dan menjelaskan dengan baik), dan ada kelas yang
dosennya kurang (biasanya mereka berbicara dengan logat tertentu sehingga buat
saya susah menangkap apa yang dibicarakan di kelas, atau terkadang mereka
terlalu jago sehingga mahasiswa ga ngerti yang diomongin).
Salah satu dosen terbaik (menurut saya) dari 4 kelas yang saya ambil di
semester pertama adalah Eric Lander, professor di kelas intro biologi saya,
yang juga advisornya Presiden Barack Obama di bidang sains dan teknologi.
Kontribusinya ke Human Genome Project bikin dia listed di daftar 100 orang
paling influential di dunia oleh Time magazine. Yang paling penting, dia
‘mampu’ membuat saya menyukai biologi. Di dalam kelasnya, dia sering cerita
tentang masa mudanya, tentang penemuan-penemuan yang dia atau temen-temennya
temukan. Kadang-kadang, penemuan-penemuan itu ada di buku pelajaran kita!
It’s kind of amazing, isn’t it? Saya bisa belajar dari seseorang yang dulu
terlibat dalam proses penemuan hal baru di bidang biologi. Well, even though gw
gak akan melanjutkan karier di biologi, tapi ini kasi experience khusus buat
gw.
MIT Student
Umm, di sini, mahasiswa itu bener – bener diverse. Kita bisa ketemu mahasiswa
dari berbagai ras. Roughly 10 persen itu mahasiswa internasional. Tapi
sebenernya, jumlah de-facto nya jauh lebih banyak dari itu. Banyak orang yang
hanya punya US green card (instead of US passport). Dan ada juga yang punya US
passport karena mereka lahir di US, tapi pada kenyataannya, mereka tidak pernah
berada di US sampai waktu mereka kuliah di MIT.
MIT cukup hobi bikin hal–hal yang rada nyentrik. Misalnya, admission decision
yang tiap tahun direlease pada pi-day (Maret, 14). Atau, maskot berang–berang
(beaver) yang suka ada di tengah jalan buat di ajak foto–foto. Maskotnya dikasi
nama Tim The Beaver (Tim simply kebalikan dari MIT, dan beaver dianggep sebagai
natural engineer–jangan tanya saya kenapa). Dan juga MIT hacks yang suka bikin
hal aneh–aneh (misalnya tempel mainan orang–orangan kecil di mana–mana).
Last but not least, MIT sangat erat dengan engineering culture. Di kaos–kaos,
gelas, gantungan kunci, cinderamata dari MIT, tulisan MIT engineer sudah
menjadi hal biasa. Meskipun jurusan science di sini juga sangat bagus, tapi
somehow MIT identik dengan engineering.
Cukup buat bicara tentang MIT. Now let’s start about Boston. MIT sendiri adanya
di kota namanya Cambridge, tapi MIT ini cuman berjarak satu jembatan dengan
Boston. Kalo dari sisi MIT yang paling pinggir, kamu bisa lempar batu ketapel
ke boston (LOL). Bener–bener deket banget. Boston is a nice city, but it is
damn expensive. Ya, semuanya mahal di Boston. Tapi anyways, berikut beberapa
tempat yang jadi langganan saya hangout (well, every place is about food ;) ) :
1. Chinatown
Why? Because chinese food di mana–mana murah dan enak. Problem dari US east
coast menurut saya, banyak restoran yang
tidak mempunyai rasa yang kuat. Jadi, rada–rada hambar makanannya. Dan
satu–satunya jalan adalah dengan ke restoran Asia yang belum Americanized. One
of the best ones, itu di Chinatown.
2. Quincy Market
Ini lumayan terkenal di US, quincy market itu cukup identik dengan Boston. Jadi
dia kaya sebuah food court super gede, yang terdiri dari berbagai macem makanan
di dalemnya. Menu gw? Lobster roll. The best roll I’ve ever tasted. Tapi
sayangnya rada mahal ($17++), jadinya gak sering–sering dah.
3. Prudential Mall
Mungkin mall terbesar di Boston. Di dalem ada restoran, toko–toko (kebanyakan
toko baju dan coklat), serta tempat duduk–duduk. Usually, saya ke sana cuman
buat makan sih, kemudian
setelah itu pulang.
Sebenernya ada tempat–tempat lain juga, tapi saya jarang ke sana. Kebetulan
saya gak terlalu tertarik dengan hal–hal seperti museum atau tempat wisata
seperti aquarium (mirip seaworld), jadi yah saya gak bisa komentar tentang hal
itu. Di sini ke mana–mana naik train biasanya. Mirip dengan MRT Singapore,
cuman mungkin yang ini lebih mahal (kalo jaraknya dekat). Sekali jalan, tarif
flat $1,70. Tapi karena gak ada pilihan, yah jadi terpaksa naik kereta deh.
Mudah-mudahan cerita ini agak asyikkk gambaran tentang sekolah di MIT. See you
later! Feel free buat tanya-tanya lewat comments juga :)
(Sibuea Mark Quark Hadron's Sumber :www.kompas.com)
0 komentar:
Posting Komentar