Midian Sirait: Penyelamat Danau Toba dan Andaliman
Prof.Midia Sirait, |
Memulai kariernya sebagai guru sekolah rakyat di satu desa terpecil di Porsea hingga kemudian menjadi guru besar satu universitas bergengsi di negeri ini. Memulai usaha sebagai tukang hingga akhirnya memiliki pabrik obat. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia telah menganugerahkan berbagai penghargaan, di antaranya: Pertama, Bintang Gerilya dari Presiden RI. Kedua, Perang Kemerdekaan I dan II. Ketiga, Satya Lencana Penegak.
Midian lahir di Lumban Sirait, 12 November 1928, saat baru sebulan pemuda Indonesia memaklumatkan “Sumpah Pemuda” dalam suasana keadaan sebuah bangsa yang sedang bergolak. Rumah dari Ompung Midian dan Ompung Sabam Sirait (tokoh PDI Perjuangan) berhadap-hadapan, sebagaimana layaknya di sebuah huta di Tanah Batak.
Dalam suasana penjajahan, ketika berumur tujuh tahun, Midian mau masuk sekolah Belanda. Sayang, sekolah itu tidak menerima anak-anak pribumi. Di sekolah Belanda itu yang diterima itu adalah anak-anak amtenar, anak pendeta dan anak-anak pedagang yang sudah tinggi blastingnya, pajaknya. Namun, penolakan itu tidak mengurungkan niatnya bersekolah. Oleh ayahnya dia didaftarkan ke sekolah Volksschool, yang pengantarnya menggunakan berbahasa Batak. Ayahnya, Immanuel Sirait, kemudian mempelopori berdirinya sekolah di Porsea. Sang ayah mengundang semua yang punya toko di Porsea dan kepala negeri dari marga Narasaon, yaitu Manurung, Sirait, Butarbutar, dan Sitorus. Mereka sepakat mendirikan yayasan pendidikan Mangarera namanya. Mangarera adalah nama dari nenek-moyang keempat marga tersebut.
Lulus dari sekolah tukang, setingkat sekolah menengah pertama, dia melanjutkan pendidikan guru bawah di Porsea. Setelah lulus, Midian kemudian menjadi guru pembantu di sekolah itu. Salah seorang muridnya adalah Tunggul Sirait, adik kandungnya sendiri, yang di kemudian hari menjadi rektor Universitas Kristen Indonesia.
Setelah kemerdekaan, katub menuju kemajuan yang selama ini tertutup baginya, sekarang terbuka lebar. Cita-citanya adalah pekerjaan yang mulia: menjadi guru, sekalipun itu berarti dia harus meninggalkan Bona Pasogit.
Dia memulai karier dari yang paling bawah sekali, pada awal kemerdekan Indonesia, tahun 1945. Ketika itu dia bekerja sebagai ahli pertukangan kayu. Pada waktu masih di Porsea Midian juga turut memikul senjata melawan penjajah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Midian mangaratto atau merantau ke Jakarta.
Di Jakarta, di samping menjadi guru, Midian juga pemimpi usaha majalah pendidikan “Ganeça,” lambang ilmu pengetahuan dan dewa pengetahuan. Majalah tersebut dirikannya bersama dua temannya. Untuk mencari iklan, Midian harus berjalan kaki dari Guntur ke Glodok, yang jaraknya sekitar sepuluh kilo. Tetapi, akhirnya majalah ini tutup karena kurangnya tanggapan masyarakat.
Pemuda asal Lumban Sirait ini kemudian memulai karier baru sebagai pengatur obat di Pabrik Obat Manggarai, milik Departemen Kesehatan. Dia kemudian ditempatkan sebagai asisten apoteker pada Fakultas Ilmu Pasti Alam di Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia ketika itu. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Dia bekerja sambil mengikuti kuliah farmasi. Tahun 1956, setelah telah lulus sarjana muda apoteker, Midian muda diangkat menjadi asisten dosen.
Menyaksikan negeri Napoleon
”Sambil saya pegawai sambil saya kuliah, dan saya mulai aktif di GMKI,” ujar Midian mengenang keterlibatannya dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Organisasi mahasiswa Kristen ini menurut dia banyak memberikan pelajaran berharga sepanjang kariernya. Termasuk tawaran beasiswa yang dia terima untuk belajar di Jerman. Tak berlama-lama, Midian langsung menerimanya. Informasi itu dia dapat dari Sabam Siagian, rekannya sesama aktivis GMKI. Kebetulan Sabam Siagian, menerima undangan dari Gerakan Mahasiswa Kristen Jerman, yang menyatakan ada kesempatan yang disediakan untuk dua orang dengan kriteria sarjana muda. Pas untuk Midian. Tetapi, dia harus menanggung sendiri ongkos perjalanan ke negara tersebut.
Sudah sejak lama Midian bercita-cita untuk melihat negara-negara maju di Eropa. Dia terpukau dengan biografi Napoleon, dan dia ingin menyaksikan Perancis. Namun cita-cita itu tidak segampang yang diperkirakan untuk menjangkaunya. Midian harus membayar tiket sendiri. Tidak ada rotan akar pun jadi, kira-kira demikianlah Midian menyingkap apa yang dia hadapi. Midian kemudian menjual motornya, ditambah gaji dari perusahaan dimana dia bekerja.
Di Jerman, Midian mencapai gelar doktor, gelar yang tak pernah terlintas di benaknya. Dan yang paling membahagiakan bagi Midian di Jerman, dia mendapatkan jodoh gadis Jerman, Ellen, yang kemudian hari berganti nama menjadi Kunze boru Situmorang. Jodoh tidak memakukan kaki Midian di Jerman, tetapi malah mendorongnya untuk kembali ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia, dia melapor ke ITB, kampus yang pernah memberikan kesempatan baginya sebagai asisten dosen.
Sebelum bertolak ke Jerman, Midian adalah staf ITB. Berangkat ke negeri Schiller itu dia menggunakan hak cuti di luar tanggungan negara. Pada saat kembali ke kampus yang membesarkannya, pada tahun 1965, dia menemukan suasana yang menggairahkan. Sedang berlangsung pemilihan rektor baru. Para mahasiswa mendekati Midian untuk mencalonkannya sebagai pembantu rektor bidang kemahasiswaan, yang dijabatnya tahun 1965-1969. Tahun 1968- 1978 dia pun dipercayakan menjadi anggota DPRGR- DPR RI dan MPR. Jabatan penting ini diperkirakan ada hubungannya dengan pertemuannya sebagai ketua perhimpinan mahasiswa Indonesia di Jerman dengan Presiden Soeharto yang sedang berkunjung ke negara itu.
Kariernya terus menanjak. Tahun 1978, dia dipercayakan pemerintah menjadi anggota BP 7 untuk menyusun Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang dikenal dengan P4. Dan, yang tak kalah penting dalam kariernya adalah jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pengaasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1978-1988). Midian pensiun sebagai Guru Besar ITB tahun 1993.
Sejarahnya di bidang pendidikan tidak hanya mencatat dia pernah mendirikan sekolah setingkat SMP di Manggarai, karena Midian adalah juga salah seorang pendiri Universitas Maranatha, Bandung.
Menurut pengakuannya, dia juga terlibat membidani lahirnya Komite Nasional Pemuda Indonesia, 23 Juli 1973, dan duduk sebagai Ketua Dewan Pembina. “Saya mulai ikut berpolitik di Eropa, banyak datang pimpinan-pimpinan angkatan darat. Jenderal D.I Panjaitan, atase militer di Jerman, adalah penghubung kami. Saat itu, saya menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia, PPI, organisasi ini berpolitik. Karena atase militer datang, maka kita mulai berhubungan dengan militer di Indonesia, tetapi di bawah pengetahuan Soekarno. Lalu saya masuk di dalam forum anti-Komunis, karena sikap itulah yang memberikan ruang berpolitik bagi saya,” katanya menguraikan.
Di bidang politik, Midian tidak hanya dikenal sebagai salah satu pendiri Golkar. Menurut Midian, Golkar adalah gabungan dari 250 organisasi. Ketua umumnya adalah militer dengan pangkat letnan jenderal, sementara sekretaris jenderalnya selalu dijabat oleh seseorang yang berpangkat mayor jenderal. ”Sebenarnya Golkar itu tentara. Tapi, kami sengaja masuk untuk memberikan arah politik, jangan terus tentara lagi-lagi menjadi pimpinan Golkar. Memang suatu waktu jangan militer lagi yang jadi ketua. Setelah itu saya kenal Ali Murtopo. Dan dia lihat pikiran kami baik dan harus berada di Golkar. Kemudian disusunlah doktrin Golkar, semacam ideologinya Golkar. Yang paling pokok, saya pula ikut merumuskannya. Sasaran kegiatan Golkar adalah terbentuknya masyarakat kekaryaan yang berdasarkan Pancasila. Jadi kalau tidak ada seperti itu, perjuangan politiknya hambar, pragmatis.”
Andaliman
Sejak reformasi, dia melihat partai yang selama ini dia perjuangkan sudah makin moleng, miring. Setelah Golkar tidak lagi jelas arahnya, dia pun keluar dari dengan diam-diam. Dan dia melihat perlunya mendirikan partai yang berasaskan nilai-nilai Kristiani. Maka, Midian bersama teman-temannya mendirikan Partai Demokrasi Kasih Bangsa, yang dideklarasikan 5 Agustus 1998. “Saya bilang ke Akbar, saya akan bentuk partai tanpa menghapus Golkar dari hati saya,” kenangnya.
Semula, niatnya mendirikan PDKB adalah bagaimana orang Protestan dengan Katolik bisa bersatu dalam satu partai. Lalu, tampuk ketua umum jatuh ke Manase Malo. Midian kemudian mengundang para cedikiawan Kristen. Sedari awal tidak terbetik di pikirannya untuk memimpin partai PDKB. ”Karena saya sudah tahu, jangan orang Batak lagi, mesti orang dari timur, tetapi Batak yang memberikan peranan.” katanya. Pada pemilihan umum 1999 PDKB memperoleh lima kursi di DPR, salah satu adalah adiknya, Tunggul Sirait.
Saat menjadi pembatu rektor ITB, Midian mengusulkan kepada pemerintah agar tumbuh-tumbuhan, rempah-rempah, yang sarat dengan obat itu terus dijaga kelestariannya. Oleh karena itu, Midian mengusulkan salah seorang mahasiswanya untuk melakukan penelitian mengenai mamfaat andaliman yang dalam bahasa ilmiahnya disebut zanthoxylum acanthopodium DC.
Andaliman tumbuh di dataran Tiongkok, India, Burma, Thailand, Siam, Tibet, dan daerah-daerah subtropis Himalaya. Sementara di Tanah Batak sendiri andaliman sudah sejak lama digunakan sebagai bumbu masak. Andaliman adalah bumbu utama dalam makanan “naniura,” masakan yang dimatangkan dengan cara pengasaman selama 24 jam. Kombinasi antara andaliman dengan asam memberikan rasa dan aroma yang menyengat. Apabila dicicipi akan menggetarkan lidah.
”Sejak dulu saya tertarik pada rempah dari Bona Pagogit. Di ITB saya yang pilih mahasiswa untuk membuat skripsi tentang andaliman. Karena tanaman ini jarang di dunia. Dia tumbuh di daratan dengan ketinggian 1000 meter lebih, seperti di daerah Siborong-borong dan Humbang-Hasundutan. Tanaman ini sudah mulai habis. Dia hanya tumbuh liar. Maka, saking tertariknya saya, saya minta mahasiswa untuk menjadikannya bahan sebagai bahan penelitian,” ujar matan guru besar ITB itu.
Midian ketika itu menunjuk mahasiswanya, Maruap Siahaan, seorang mahasiswa jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Maka, jadilah sikripsi berjudul Pemeriksaan Minyak Atsiri dan Isolasi Senyawa Getir dari Buah Andaliman. Dan pembimbing utama sendiri tak-lain-tak-bukan adalah Professor Dr. Midian Sirait.
Melawan Indorayon
Karena cintaanya pada Danau Toba, dia ikut mendirikan Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba, dan menjadi ketuanya yang pertama. Semula dia tidak keberatan dengan pembangunan pabrik bubur kayu Indorayon di Porsea. Tetapi, dampak yang ditimbulkannya sampai-sampai ayah-ibunya misir (pindah) ke Parapat, hanya untuk menghindari bau busuk dari pabrik itu. Selain itu, banyak masyarakat Porsea pindah, saking baunya limbah Indorayon. Oleh karena itu, masyarakat melancarkan demonstrasi saban hari untuk menuntut penutupan Indorayan.
Pabrik itu, selain telah merusak tanaman warga, juga merusak Danau Toba. Melihat itu, Midian kemudian berkonsultasi dengan Sarwono, menteri lingkungan hidup ketika itu. Kemudian Sarwono bilang akan mendatangkan konsultan dari Amerika Serikat untuk meneliti apa yang terjadi di Porsea.
”Lalu, kemudian diadakan rapat di Laguboti, diadakan horja untuk meminta menteri Lingkungan Hidup untuk menguji kualitas, termasuk kualitas udara. Penelitian itu disetujui oleh Indorayon. Datanglah dari Amerika Serkiat tim yang terdiri dari delapan orang. Kedatangan tim ini dibiayai oleh Indorayon. Ternyata, penelitian cara Amerika ini agak beda. Mereka konsultan, tapi yang bayar Indorayon, bukan pemerintah. Jadi begitu selesai, mereka tidak berikan laporannya pada saya. Saya di situ sebagai penasihat.”
Midian bercerita lebih lanjut: ”Nggak ada laporannya, Sarwono pun katanya tidak dikasi laporan. Menurut undang-undang Amerika Serikat, siapa yang membayar untuk consulting, maka dia yang terima laporan. Kita dikibulin. Lalu, saya mengundurkan diri, karena masyarakat sudah serahkan kepercayaannya kepada saya. Lalu saya buat surat ke B.J.Habibie, teman saya ketika di Jerman. Saat itu dia sudah menjadi Presiden. Tak lama kemudian, saya dipanggil presiden sebagai ketua yayasan pecinta danau toba. Saya didampingi ketua penasihat yayasan, yaitu Jenderal Maraden Panggabean. Kami meminta Habibie untuk menutup Indorayon. Ditambah juga penjelasan Sintong Panjaitan, yang ketika itu sebagai asisten khusus presiden, bahwa dampak yang diberikan Indorayan sudah sedemikian parah,” ujar Midian.
Kemudian? ”Habibie perintahkan (Indorayon) untuk ditutup. Saya bilang kepada orang Indorayon pindahkan saja pabrik ke daerah yang sepi penduduk. Zaman Abdurahman Wahid, beliau juga bilang, kalau sudah ditutup ya ditutup saja. Kemudian masa pemerintahan Megawati, Menteri Tenaga Kerja, Jacob Nuwawea, ketika itu didatangi Indorayon. Ada orang yang dibiayai oleh Indorayon, untuk menemui Jacob Nuwawea dengan alasan ’masyarakat butuh pekerjaan, Indorayon menyerap tenaga kerja’ Ini kan hanya ulah beberapa orang saja. Katanya Indorayon sudah punya teknologi baru, padahal tidak ada.”
Gejalanya yang diderita penduduk biasanya muntah-muntah. Penduduk tak keberatan pabrik tetap beroperasi asal tidak menyebar racun. Indorayon beroperasi lagi berdasarkan izin dari Jacob Nuwawea. Sebagai kader PDI Perjuangan, Jacob kemudian lapor ke partainya itu. Di lapangan, Indorayon memang sudah tidak menyebarkan bau lagi. ”Karena rumah saya persis di situ. Sekarang penduduk sudah lebih tenang, tidak lagi bau, karena rayon tidak diproduksi lagi, hanya pulp. Dan pabrik itu mengganti namanya menjadi Toba Pulp Lestari,” kata Midian.
Timbullah bencana. Caustic soda tumpah di kampung Lumban Lobu, yang berasal dari Indorayon. Sungai di situ tercemar. Tim peneliti dari Amerika Serikat, didatangkan untuk memastikan ada tidaknya kimia berbahaya dalam tumpahan itu. Tetapi, hasil penelitiannya tak pernah diumumkan. Hanya dibekap di laci Indorayon.
Di masa tuanya, Midian Sirait masih terus bekerja, sesekali membantu perusahaan obat yang didirikannya bersama anaknya, Poltak Michael M Sirait. Barangkali, tak banyak yang tahu tentang keterlibatannya dalam penyelamatan Danau Toba, yang dirusak oleh gelombang kapital yang menjarah dan merusak danau kedua terbesar di dunia itu. Perjuangannya untuk mensucikan Porsea, dari mana air Danau Toba melintas mengikuti lekak-liku Sungai Asahan sebelum tumpah ke Selat Malaka, akan tetap dikenang. Midian, yang di usia senjanya harus menjalani cuci darah dua kali seminggu akan tetap menjadi ilham bagi orang Batak dalam perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka. (Sibuea MarkQuark Gluon Tao)
0 komentar:
Posting Komentar