Pasukan Marinir Sersan Usman & Kopral Harun |
Tanggal 8 Maret 1965
pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang ketiga Sukarelawan iini
mendayung perahu,Sukarelawan itu dapat melakukan tugasnya berkat
latihan-latihan dan ketabahan mereka. Dengan cara hati-hati
dan orientasi yang terarah mereka mengamati tempat-tempat penting
yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati sasaran-sasaran ini
dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka meng
adakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan
masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapa berhasil kembali ke induk
pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II dimana Usman dan Harus bertugas.
Pada malam harinya Usman
memesan anak buahnya aga berkumpul kembali untuk merencanakan tugas-tugas
yang haru dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil penyelidikan mereka
masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan
perundingan tentang langkah yang akan ditempuh karena belum adanya rasa
kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan, ketiga Sukarelawan di
bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke daerah sasaran untuk
melakukan penelitian yang mendalam. Sehingga apa yang dibebankan oleh
atasannya akan membawa hasil yang gemilang.
Di tengah malam buta, di
saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan kesepakatan, mereka
memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald,Diharapkan dapat
menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel tersebut terletak di
Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura. Pada malam harinya Usman
dan kedua anggotanya kembali menyusuri Orchad Road. Di tengah-tengah
kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga putra Indonesia bergerak
menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada saat itu suasana belum
mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang paling tepat untuk
menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi, mulailah mereka dengan
gesit mengadakan gerakan gerakan menyusup untuk memasang bahan peledak
seberat 12,5 kg.
Dalam keheningan malam
kira-kira pukul 03.07 malam tersentaklah penduduk kota Singapura oleh
ledakan yang dahsyat seperti gunung meletus. Ternyata ledakan tersebut berasal
dari bagian bawah Hotel Mac Donald yang terbuat dari beton cor tulang
hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke penjuru sekitarnya. Penghuni
hotel yang mewah itu kalang kabut, saling berdesakan ingin keluar untuk
menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula penghuni toko sekitarnya berusaha
lari dari dalam tokonya.
Beberapa penghuni hotel
dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga mengalami luka berat dan
ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di sekitar hotel itu
mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30 orang meninggal, 35
orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antaraorang-orang yang
berdesakan dari dalam gedung ingin keluar dari hotel tersebut tampak seorang
pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.
Suasana yang penuh
kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald dan sekitarnya, namun Usman dan
anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan kegelapan malam untuk
menghindar dari kecurigaan. Mereka kembali memencar menuju tempat
perlindungan masing-masing.
Pada hari itu juga
tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul kembali. Bersepakat bagaimana
caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi sulit, seluruh aparat
keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku yang meledakkan Hotel
Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya, lagi pula penjagaan sangat
ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa ditembus. Sulit bagi
Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura. Untuk mencari jalan
keluar, Usman dan anggotanya sepakat untuk menerobos penjagaan dengan
menempuh jalan masing masing, Usman bersama Harun, sedangkan Gani bergerak
sendiri.
Setelah berhasil
melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret 1965 Usman dan anggotanya bertemu
kembali dengan diawali salam kemenangan, karena apa yang mereka lakukan berhasil.
Dengan kata sepakat telah disetujui secara bulat untuk kembali ke
pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang telah dicapai kepada atasannya.
Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa
yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas
telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah Usman dan Harus berpisah
dengan Gani sampai akhir hidupnya.
Gagal kembali ke
pangkalan.
Usaha ketiga Sukarelawan
kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing. Tetapi Usman yang
bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun berjalan sendiri, hal
ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan daerah Singapura,
walaupun ia sering memasuki daerah inf. Karena itu Usman meminta kepada Harun
supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan. Untuk
menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka berjalan saling
berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan sama
sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas dari pengawasan
masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat tertentu. Semua jalan
telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.
Dengan berbagai usaha
akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan Singapura, mereka dapat
menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan berlayar menuju Bangkok.
Kedua anak muda itu menyamar sebagai pelayan dapur. Sampai tanggal 12 Maret
1965 mereka berdua bersembunyi di kapal tersebut. Tetapi pada malam itu,
waktu Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya
berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal. Kalau tidak mau pergi
dari kapalnya, akan dilaporkan kepada Polisi. Alasan mengusir kedua pemuda
itu karena takut diketahui oleh Pemerintah Singapura, kapalnya akan ditahan.
Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua Sukarelawan Indonesia keluar dari
persembunyiannya.
Usman dan Harun terus
berusaha mencari sebuah kapal tempat bersembunyi supaya dapat keluar dari
daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari kapal, tiba-tiba
tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang Cina. Daripada tidak
berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan dua kemungkinan tertangkap
atau dapat lolos daribahaya. Akhirnya dengan tidak pikir panjang mereka
merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan mereka mengambil alih
kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau Sambu. Tetapi apadaya
manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan. Sebelum mereka sampai ke
perbatasan peraian Singapura, motorboatnya macet di tengah laut. Mereka
tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh, sehingga pada pukul
09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun tertangkap di bawa ke Singapura
sebagai tawanan.
Mereka menyerahkan diri
kepada Tuhan, semua dihadapi walau apa yang terjadi, karena usaha telah
maksimal untuk mencari jalan. Nasib manusia di tangan Tuhan, semua itu adalah
kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan Harus tenang saja, tidak ada rasa
takut dan penyesalan yang terdapat pada diri mereka. Sebelum diadili mereka
berdua mendekam dalam penjara. Mereka dengan sabar menunggu saat mereka
akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia telah ditinggalkan, apakah
untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.
TABAH SAMPAI AKHIR
Proses Pengadilan Usman dan Harun selama
kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai
tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965
Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah
Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dai Harun
dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan
:
1. Menurut ketentuan
International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.
2. Telah melakukan
pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan
alat peledak dan menyalakannya.
Dalam proses pengadilan
ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai
dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan
Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua
tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam
keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka
dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).
Namun tangkisan tertuduh
Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis.
Hakim telah menola permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh
tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih
dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang Pengadilan Tinggi (Hight
Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman dan Harun telah
melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil. Dengan
dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.
Pada tanggal 6 Juni 1966
Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal Court of Malaysia dengan
Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan J.J. Amrose. Pada
tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding
Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 perkara tersebut
diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia
menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari
Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari
Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura. Usaha
penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang
pada tanggal 21 Mei 1968.
Setelah usaha naik
banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan Tertinggi yang berlaku
di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk mendapat grasi
dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada tanggal 1
Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh
Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di Singapura diperintahkan
untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna
memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia
tersebut. Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha
melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI.
Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menlu
Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan
Harun ditolak oleh Presiden Singapura.
Pemerintah Indonesia
dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan.
Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi,
Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua
patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta
kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah
Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak
mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura
tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan
Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06.00 pagi
waktu Singapura.
Permintan terakhir
Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda
satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan
sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura
tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan
Harun.
Pesan terakhir.
Waktu berjalan terus dan
sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana Pemerintah Singapura
telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap
Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi Dunia
merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang gagah
perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada pencipta - Nya.
Seluruh rakyat Indonesia
ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian juga dengan Pemerintah
Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk menyelesaikan masalah
ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pem
belaan warga negaranya. Satu malam sebelum pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore
tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi
Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan diantar Kuasa Usaha
Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan didampingi Atase
Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan dengan Usman dan Harun
di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul 16.00. Tempat inilah
yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam penjara dan di tempat
ini pula hidupnya berakhir.
Para utusan merasa kagum
karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjara dan meninggalkan tanah
air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan kegembiraan, dengan
kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas seorang prajurit KKO AL
yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah yang membebani mereka,
walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah menunggu.
Keduanya segera
mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan
lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo
sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen
Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan
pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak
yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya.
Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah
menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat
Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara.
Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo mengingatkan kembali
supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah bahwa Tuhan selalu
bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula menyampaikan, bahwa
Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan
di Indonesia.
Sebelum berpisah Usman
dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada
Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum, dan Rakyat
Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan selesai, Sersan KKO
Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat.
Menjalani Hukuman Mati.
Pada saat ketiga pejabat
Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan Harun kembali masuk
penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia. Usman dan Harun termasuk
orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka berdua adalah pemeluk
agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah hati mereka semakin
dekat dengan pencipta - Nya. Karena itu empat tahun dapat mereka lalui
dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan nyenyaknya walaupun
pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.
Pemerintah dan rakyat
Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda ini dan dengan keharuan
ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka. Sedangkan Usman dan
Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi dan suram itu. Mereka
menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tembok, sedangkan di
luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman dan Harun yang penuh
dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah ditempa oleh Korpsnya
KKO AL menambah modal besar untuk memberikan ketenangan dalam diri
mereka yang akan menghadapi maut. Di penjara Changi, pada
hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam, tetapi dalam penjara
Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak sore sudah berjaga-jaga,
dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.
Di sebuah ruangan kecil
dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan Harun benar-benar tidur
dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan menghadapi maut, namun
kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan khawatirpun tidak.
Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka akan menghadapi tali
gantungan. Sikap kukuh dan tabah
ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968,
yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima hukuman dengan gagah
berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal in dapat dilihat
dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepada keluarganya:
Sebagian Surat Usman
yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda
yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan berita duka kepangkuan
Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas
anakanda telah diputus kan pada 17 Oktober 1968, hari Kamis 24 Rajab 1388.
Sebagian isi surat dari
Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu
menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu
ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura rayuan adinda tetap akan
menerima hukuman gantungan sampai mati.
MENGHADAPI TIANG
GANTUNGAN
Pukul 05.00 subuh kedua
tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara, kemudian disuruh
sembahyang menurut agamanya masing-masing. Sebenarnya tanpa
diperintah ataupun dibangunkan Usman dan Harun setiap waktu tidak
pernah melupakan kewajibannya untuk bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar masalah keagamaan dengan
matang.
Setelah melakukan
sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke
kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius
dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong oleh dokter tersebut,
sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. Dalam keadaan, lumpuh
dan tangan tetap diborgol, Usman dan Harun dibawa petugas menuju ke tiang
gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi
hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan kalungkan ke leher Usman
dan harun.
Pada waktu itu pula
seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa kedua prajurit Indonesia
digantung batang lehernya tanpa mengingat segi-segi kemanusiaan menundukkan
kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian mereka menengadah berdoa kepada
Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia itu mendapatkan tempat yang
layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung tali gantungan di negeri
orang, Jauh dari sanak keluarga, negara dan bangsanya.Mereka pergi
untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air tercinta.
Eksekusi telah selesai,
Usman dan Harun telah terbujur, terpisah nyawa dari jasadnya. Kemudian
pejabat penjara Changi keluar menyampaikan berita kepada para wartawan yang telah
menanti dan tekun mengikuti peristiwa ini, bahwa hukuman telah
dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula tersiar berita ke seluruh penjuru dunia
menghiasi lembaran mass media sebagai pengumuman terhadap dunia atas
terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman dan Harun.
Bendera merah putih
telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Sedangkan masyarakat
Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor
Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda
kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.
Begitu mendapat berita
pelaksanaan eksekusi PemerintaH Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat
pegawai KedutaaN Besar RI ke penjara Changi untuk menerima kedua jenazah
itu dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan Besar RI untuk disemayamkan.
Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari penjara sebelum
dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya dari Pemerintah
Singapura. Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama untuk mengurus kedua
jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah di masukkan ke dalam peti,
Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah Putih yang
dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada peti jenazah kedua
Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara. Pukul 10.30 kedua jenzah
baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI
Mendapat penghormatan
terakhir dan Anugerah dari Pemerintah
Setelah mendapatkan penghormatan
terakhir dari masya rakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00
jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat TNI-AU.
yang akan membawa ke Tanah Air. Pada hari itu Presiden
Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah Kalimantan Barat yang
masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan Paraku. Waktu Presiden
diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto menyata kan
kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.
Pada pukul 14.35 pesawat
TNI-AU yang khusus dikirim dari Jakarta meninggalkan lapangan
terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah diselimuti oleh dua buah
bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Pada hari itu juga, tanggal
17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah tiba di Tanah Air.
Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia menjemput kedatangannya
dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang jalan antara Kemayoran,
Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin melihat kedatangan kedua
Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air.
Setibanya di lapangan
terbang Kemayoran kedua jenazah Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan
Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan seterusnya disemayamkan di Aula
Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata.
Pada upacara penyerahan
kedua jenazah Pahlawan ini menimbulkan suasana yang mengharukan. Di samping
kesedihan yang meliputi wajah masyarakat yang menghadiri upacara
tersebut, di dalam hati mereka tersimpan kemarahan yang tak terhingga atas
perlakuan negara tetangga yang sebelumnya telah mereka anggap sebagai sahabat
baik. Pada barisan paling depan terdiri dari barisan Korps Musik KKO-AL yang
memperdengarkan musik sedih lagu gugur bunga, kemudian disusul dengan
barisan karangan bunga. Kedua peti jenazah tertutup dengan bendera Merah
Putih yang ditaburi bunga di atasnya. Kedua peti ini didasarkan kepada
Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi yang kemudian diserahkan kepada Kas
Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula Hankam. Di belakang peti turut
mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo dan Kuasa Usaha RI untuk Singapura
Letkol M. Ramli yang langsung mengantar jenazah Usman dan Harun dari
Singapura. Suasana tambah
mengharukan dalam upacara ini karena baik Brigjen Tjokropranolo maupun Laksamana R.
Muljadi kelihatan meneteskan air mata.
Malam harinya, setelah
disemayamkan di Aula Hankam mendapat penghormatan terakhir dari
pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil, Jenderal TNI Nasution
kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang dan beliau menunggui
jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.
Tepat pukul 13.00 siang,
sesudah sembahyang Jum'at, kedua jenazah diberangkatkan dari Aula
Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jalan yang
dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan
Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu dan akhirnya sampai
Kalibata. Sepanjang jalan yang dilalui antara Merdeka Barat dan
Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala sebagai penghormatan
terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut mengiringi dan mengantar
kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para Menteri Kabinet
Pembangunan.
Laksamana R. Muljadi,
Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas
dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemuda dan pelajar serta
masyarakat. Upacara pemakaman ini
berjalan dengan penuh khidmat dan mengharukan. Bertindak sebagai
Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama Pemerintah Letjen
Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan
diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat yang layak sesuai dengan
amal bhaktinya.
Dengan didahului
tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan, peti jenazah diturunkan
dengan perlahan-lahan ke liang lahat. Suasana bertambah haru setelah
diperdengarkan lagu Gugur Bunga.
Pengorbanan dan jasa
yang disumbangkan oleh Usman dan Harun terhadap Negara dan Bangsa maka
Pemerintah telah menaikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi
yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan
Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan
Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan diangkat
sebagai Pahlawan Nasional.
Copyright by : Korps
Marinir
0 komentar:
Posting Komentar