Melihat tapak peristiwa kecelakaan nuklir Fukushima Jepang
di bulan maret 2013, Ada tiga hal penting yang dapat diambil dari kecelakaan
nuklir Fukushima tersebut, yaitu antisipasi melawan kondisi alam
ekstrim, regulasi dan perubahan mitos keselamatan nuklir serta radiasi dosis
rendah dan komunikasi tentang resiko. Hal ini disampaikan oleh Takehiko
Mukaiyama dari JAIF International Cooperation Center (JICC) pada
Seminar Internasional Keselamatan Nuklir di Universitas Pancasila.
Gambar : Ledakan Reaktur Nuklir Fukushima |
Bertempat di Aula Fakultas Teknik Universitas Pancasila,
seminar yang bertajuk Lesson Learnt from Fukushima Nuclear Power
Accident “Understanding of the Accident and Reconstruction of The Environtment” ini
dilaksanakan Kamis (20/03/2014) atas kerjasama Universitas Pancasila, JICC dan
BATAN.
Selanjutnya Mukaiyama menegaskan, yang terpenting dalam
keselamatan nuklir adalah regulasisafety, security dan safeguards yang
bersifat holistik serta mampu mengantisipasi dengan baik segala kejadian sampai
pada ekskalasi yang paling ekstrim. Saat ini 48 unit dari PLTN di Jepang dengan
daya total sekitar 44 GWe (Giga Watt Elektrik) sedang offline, dan menunggu
hingga seluruhnya memenuhi standar keselamatan regulasi baru yang sedang
disusun oleh Nuclear Regulation Authority (NRA). Sebelum
Fukushima regulasi nuklir di Jepang memiliki banyak ragam dan bersifat parsial
oleh beberapa lembaga. NRA sendiri baru dibentuk tahun lalu sebagai bagian dari
reformasi industri nuklir di Jepang. PLTN yang kini sedang offline baru
dapat restart kembali apabila sudah memenuhi seluruh standar
keselamatan NRA.
Sementara itu anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran dalam
kesempatan yang sama menyebutkan Jepang serius menjamin keselamatan dan
keamanan PLTN pasca Fukushima untuk membangun kembali energi nuklir nya
meskipun telah melalui kecelakaan nuklir dengan skala yang cukup tinggi,
sementara Indonesia sampai saat ini masih ketakutan dan trauma untuk mulai
memanfaatkan energi nuklir untuk listrik padahal belum apa-apa. Sebagai
perbandingan Jepang dengan penduduk sekitar 128 Juta Jiwa memiliki total daya
listrik 287 GWe, bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk sekitar 242 Juta
Jiwa hanya memiliki total daya listrik 34,5 GWe. Infrastuktur kelistrikan
Indonesia sendiri masih berada di urutan ke-6 diantara negara-negara ASEAN di
bawah Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Tumiran
sendiri menegaskan perlunya perubahan paradigma dalam Kebijakan Energi
Nasional, menurutnya sampai saat ini kebijakan energi di Indonesia masih
bersifat sektoral, dan banyak sumber daya alam yang berupa bahan mentah masih
harus dibebankan sebagai devisa negara. “Listrik di Indonesia sangat kurang,
bayangkan Sumatera dengan penduduk sekitar 60 Juta Jiwa hanya memiliki 5 GWe.
Bagaimana membangun ketahanan?” demikian tuturnya.
Terkait dengan pemanfaatan energi nuklir di Indonesia Kepala
Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir (PKSEN) BATAN Yarianto SBS menyatakan
BATAN berfungsi sebagai technical support untuk PLTN, bukan
sebagai pembangun dan pemilik, keputusan tetap berada di pemerintah, sampai
saat ini sudah dilaksanakan studi mendalam tentang kelayakan calon tapak PLTN
di Bangka, dengan dua lokasi yang dinyatakan layak sebagai calon tapak PLTN
yaitu di Bangka Selatan dan Bangka Barat, jauh sebelumnya studi kelayakan juga
sudah dilaksanakan di Semenanjung Muria dan studi pra-kelayakan calon tapak
PLTN juga telah dilaksanakan di Banten dan Kalimantan Barat.
Dari pihak Universitas Pancasila sendiri Dekan
Fakultas Teknik Fauzri Fahimuddin menyebutkan sebagai akademisi pihaknya
mengundang banyak narasumber ahli untuk mengkaji masalah energi nuklir sebagai
pembelajaran mahasiswa dan masyarakat, “menerima atau menolak energi nuklir
butuh reason, dan ini yang harus dipahami masyarakat” demikian
tuturnya. (Sibuea)Referensi : www.infonuklir.com
0 komentar:
Posting Komentar